JAKARTA – Pungutan liar (pungli) yang dilegalkan dan diterima mantan Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaysia, sekaligus mantan Kapolri, Jend (Purn) Rusdihardjo, dari rakyat yang mengurus dokumen keimigrasian di KBRI Malaysia pada 2004-2007, menunjukkan adanya penyalahgunaan jabatan.
Menurut Prof Dr Philipus M Hadjon, jika terjadi penyalahgunaan, maka terindikasi pula adanya maladministrasi. "Kalau dia tahu dan dapat bagian, berarti ada maladministrasi. Jadi ada tanggung jawab pribadi," tegas guru besar hukum tata negara dan hukum administrasi Universitas Airlangga Surabaya ini ketika diminta keterangannya sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Rusdihardjo dan eks Kabid Imigrasi Arihken Tarigan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (7/5).
Philipus menerangkan, tanggung jawab yang diemban pejabat ada dua macam, yakni tanggung jawab jabatan dan pribadi. Kata dia, jika keputusan dibuat atas perilaku pribadi, maka menjadi tanggung jawab pribadi, bukan jabatan. Sedangkan tanggung jawab jabatan melekat pada jabatannya. “Contohnya dalam penerbitan SK (Surat Keputusan, red) oleh dubes. Sepanjang belum dibatalkan, ini (SK) tetap sah,” lanjutnya.
Philipus menambahkan, dubes sebenarnya tidak berwenang mengeluarkan SK mengenai tarif. Yang berwenang mengeluarkan tarif adalah instansi-instansi yang bersangkutan.
Seperti diberitakan Tabloid Sensor, pada masa Rusdiharrdjo menjabat Dubes RI di Negeri Jiran pada 2004-2007, dia memberlakukan dua SK terhadap warga negara Indonesia yang mengurus dokumen keimigrasian. Buntutnya, terdapat tarif ganda dalam pungutan pengurusan dokumen keimigrasian ini.
Tarif yang dibebankan kepada pemohon lebih tinggi, sedang yang disetorkan ke negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menggunakan tarif yang lebih murah. Pungli ini diperkirakan merugikan negara hingga 6,180 Ringgit Malaysia (RM), atau setara Rp 17,9 miliar.
Sidang dengan majelis hakim yang diketuai Moerdiono, pada Senin (12/5), akan dilanjutkan agenda pemeriksaan para terdakwa. mahadir romadhon
Menurut Prof Dr Philipus M Hadjon, jika terjadi penyalahgunaan, maka terindikasi pula adanya maladministrasi. "Kalau dia tahu dan dapat bagian, berarti ada maladministrasi. Jadi ada tanggung jawab pribadi," tegas guru besar hukum tata negara dan hukum administrasi Universitas Airlangga Surabaya ini ketika diminta keterangannya sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Rusdihardjo dan eks Kabid Imigrasi Arihken Tarigan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (7/5).
Philipus menerangkan, tanggung jawab yang diemban pejabat ada dua macam, yakni tanggung jawab jabatan dan pribadi. Kata dia, jika keputusan dibuat atas perilaku pribadi, maka menjadi tanggung jawab pribadi, bukan jabatan. Sedangkan tanggung jawab jabatan melekat pada jabatannya. “Contohnya dalam penerbitan SK (Surat Keputusan, red) oleh dubes. Sepanjang belum dibatalkan, ini (SK) tetap sah,” lanjutnya.
Philipus menambahkan, dubes sebenarnya tidak berwenang mengeluarkan SK mengenai tarif. Yang berwenang mengeluarkan tarif adalah instansi-instansi yang bersangkutan.
Seperti diberitakan Tabloid Sensor, pada masa Rusdiharrdjo menjabat Dubes RI di Negeri Jiran pada 2004-2007, dia memberlakukan dua SK terhadap warga negara Indonesia yang mengurus dokumen keimigrasian. Buntutnya, terdapat tarif ganda dalam pungutan pengurusan dokumen keimigrasian ini.
Tarif yang dibebankan kepada pemohon lebih tinggi, sedang yang disetorkan ke negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menggunakan tarif yang lebih murah. Pungli ini diperkirakan merugikan negara hingga 6,180 Ringgit Malaysia (RM), atau setara Rp 17,9 miliar.
Sidang dengan majelis hakim yang diketuai Moerdiono, pada Senin (12/5), akan dilanjutkan agenda pemeriksaan para terdakwa. mahadir romadhon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar