JAKARTA – Perseteruan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) terkait dana biaya perkara, sudah seharusnya direspon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan diusut. Sebab, jumlah biaya perkara yang dikelola MA selama ini tidak dilaporkan secara transparan ke publik.
Demikian diungkapkan Kepala Divisi Advokasi dan Pemantau Peradilan Indonesia Coruption Watch (ICW) Emerson Yuntho kepada wartawan di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Rabu (7/5). Emerson menilai, argumentasi MA bahwa biaya perkara yang dikelolanya bukan merupakan uang negara, tidaklah masuk akal. Apalagi, BPK menemukan adanya rekening Ketua MA Bagir Manan mencapai Rp 7,4 miliar.
Sedangkan temuan UCW selama kurun 2005-2007, dana biaya perkara yang dikelola MA mencapai Rp 31,1 miliar. Namun, MA sendiri mengaku jumlahnya hanya Rp 1,5 miliar, jauh berbeda dengan catatan yang ditemukan ICW.
Hal itu, lanjut dia, memperlihatkan betapa jumlah keseluruhan biaya perkara yang dikelola MA hingga sekarang, tidak diketahui secara pasti. “Ini cukup rentan untuk diselewengkan," cetusnya.
Dia mengindikasikan adanya korupsi dalam pengelolaan biaya perkara tersebut. Itu sebab, dia menganggap KPK sudah saatnya masuk ke wilayah lembaga peradilan. KPK, kata dia, bisa memulainya dari MA.
“Persoalan inilah yang seharusnya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan pemeriksaan," ucapnya. Menurutnya, selain KPK, tidak ada (lagi) lembaga lain yang bisa memeriksa institusi MA. BPK sebagai auditor negara sekalipun, juga memiliki keterbatasan kewenangan, sehingga MA bisa selalu menolak ketika BPK berupaya mengauditnya.
Sementara peneliti ICW, Febriansyah, merinci, perkiraan jumlah biaya perkara di MA tahun 2005-2007 di tingkat kasasi dalam kasus perdata umum mencapai Rp 6,285 miliar, kasus perdata agama Rp 843 juta, kasus perdata khusus Rp 7,015 miliar, dan Tata Usaha Negara (TUN) Rp 1,694 miliar.
Di tingkat Peninjauan Kembali (PK), lanjut Febriansyah, untuk kasus perdata umum Rp 9,452 miliar, kasus perdata agama Rp 392,50 juta, kasus perdata khusus Rp 1,780 miliar, dan kasus TUN Rp 3,66 miliar. "Itu baru di MA, belum di tingkat pengadilan di bawahnya," ujarnya.
Febriansyah menambahkan, kebijakan pungutan biaya perkara yang dilakukan MA yang mengatur biaya kasasi perdata umum, agama, dan TUN, sesuai SK No KMA/42/SK/III/2002 adalah sebesar Rp 500 ribu; biaya PK sesuai SK No KMA/42/SK/VIII/2002 sebesar Rp 2,5 juta; biaya kasasi perkara perdata khusus-niaga Rp 5 juta sesuai SK No KMA/02/SK/I/2002; dan SK No KMA/024/SK/VI/2001 mengatur biaya PK perkara perdata khusus sebesar Rp 10 juta. mahadir romadhon
Demikian diungkapkan Kepala Divisi Advokasi dan Pemantau Peradilan Indonesia Coruption Watch (ICW) Emerson Yuntho kepada wartawan di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Rabu (7/5). Emerson menilai, argumentasi MA bahwa biaya perkara yang dikelolanya bukan merupakan uang negara, tidaklah masuk akal. Apalagi, BPK menemukan adanya rekening Ketua MA Bagir Manan mencapai Rp 7,4 miliar.
Sedangkan temuan UCW selama kurun 2005-2007, dana biaya perkara yang dikelola MA mencapai Rp 31,1 miliar. Namun, MA sendiri mengaku jumlahnya hanya Rp 1,5 miliar, jauh berbeda dengan catatan yang ditemukan ICW.
Hal itu, lanjut dia, memperlihatkan betapa jumlah keseluruhan biaya perkara yang dikelola MA hingga sekarang, tidak diketahui secara pasti. “Ini cukup rentan untuk diselewengkan," cetusnya.
Dia mengindikasikan adanya korupsi dalam pengelolaan biaya perkara tersebut. Itu sebab, dia menganggap KPK sudah saatnya masuk ke wilayah lembaga peradilan. KPK, kata dia, bisa memulainya dari MA.
“Persoalan inilah yang seharusnya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan pemeriksaan," ucapnya. Menurutnya, selain KPK, tidak ada (lagi) lembaga lain yang bisa memeriksa institusi MA. BPK sebagai auditor negara sekalipun, juga memiliki keterbatasan kewenangan, sehingga MA bisa selalu menolak ketika BPK berupaya mengauditnya.
Sementara peneliti ICW, Febriansyah, merinci, perkiraan jumlah biaya perkara di MA tahun 2005-2007 di tingkat kasasi dalam kasus perdata umum mencapai Rp 6,285 miliar, kasus perdata agama Rp 843 juta, kasus perdata khusus Rp 7,015 miliar, dan Tata Usaha Negara (TUN) Rp 1,694 miliar.
Di tingkat Peninjauan Kembali (PK), lanjut Febriansyah, untuk kasus perdata umum Rp 9,452 miliar, kasus perdata agama Rp 392,50 juta, kasus perdata khusus Rp 1,780 miliar, dan kasus TUN Rp 3,66 miliar. "Itu baru di MA, belum di tingkat pengadilan di bawahnya," ujarnya.
Febriansyah menambahkan, kebijakan pungutan biaya perkara yang dilakukan MA yang mengatur biaya kasasi perdata umum, agama, dan TUN, sesuai SK No KMA/42/SK/III/2002 adalah sebesar Rp 500 ribu; biaya PK sesuai SK No KMA/42/SK/VIII/2002 sebesar Rp 2,5 juta; biaya kasasi perkara perdata khusus-niaga Rp 5 juta sesuai SK No KMA/02/SK/I/2002; dan SK No KMA/024/SK/VI/2001 mengatur biaya PK perkara perdata khusus sebesar Rp 10 juta. mahadir romadhon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar