MAHADIR CENTER in blogspot

Selasa, Januari 01, 2008

Usut, BPN "Sarang Mafia Tanah"

JAKARTA - Predikat sebagai "sarang mafia tanah" yang dialamatkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur (Jaktim), tampaknya bukan sekadar suara sumbang. Ditengarai, mantan Kepala BPN Jaktim HM Khudlori, ikut terlibat.

Birokrasi ini terindikasi menerbitkan sertifikat-sertifikat ganda. Wajar, bila pihak-pihak yang merasa dirugikan memberi perlawanan dan mendesak institusi berwenang guna mengusutnya.

Borok BPN Jaktim terlihat dari sejumlah sengketa tanah yang masuk ke meja hijau. Ironis bila para pihak berperkara bisa mengajukan bukti-bukti sertifikat tanah yang sama-sama 'terbitan' BPN Jaktim.

Kini, mantan Kepala BPN Jaktim Khudlori, harus menghadapi gugatan sebesar Rp3,75 miliar akibat 'gampang' menerbitkan sertifikat tanah. Ia yang dimutasi ke BPN Surabaya, belum lama ini, bahkan ditangkap KPK di sebuah hotel.

Di ‘Kota Pahlawan’ itu, ia tersandung hukum terkait dugaan pemerasan dan penyuapan untuk mempercepat pengurusan sertifikat tanah sejumlah Rp675 juta.

Namun demikian, para pihak yang merasa telah dirugikan semasa ia menjabat Kepala BPN Jaktim, juga meminta KPK mengusut indikasi penerbitan sertifikat palsu atas sebidang tanah Girik C No 55, persil 1A Blok Kwista RT 0013/004, Kelurahan Ujung Menteng, Cakung, seluas 6,675 ha.

Tanah yang terkena jalur proyek Banjir Kanal Timur (BKT) ini adalah milik ahli waris Nausin bin Nioen, dan sekarang dipersengketakan lantaran adanya sertifikat yang diduga palsu terbitan BPN Jaktim.

Para ahli waris itu yakni Hj Naisah binti Saelan, H Baharudin Ali bin H Mualim, dan Hj Rohmanih binti H Mian. Ketiganya warga Gang Gapura RT 15/04, Kelurahan Cakung Barat.

Diwakili advokat Rizal Patuan Lubis SH dan Lindra Januar SH, mereka menggugat HM Khudlori sebesar Rp3,75 miliar. Pasalnya, oleh BPN Jaktim, tanah tersebut juga diterbitkan atas nama tujuh orang warga Karawang, Jabar, yang disebut ahli waris Nausin bin Nioen. Padahal, kata Patuan, nama-nama tersebut hanyalah fiktif.

Patuan menjelaskan, saat proses penerbitan sertifikat dimaksud, salah satu dari ketujuh orang tersebut, Muharim bin Kaisin, pernah meminta Deputi Persengketaan Masalah Tanah (DPMT) agar membatalkannya, dan dikabulkan. Muharim mengakui bukan ahli waris Nausin bin Nioen. DPMT kemudian menyampaikan surat ke kantor BPN Jaktim. Tetapi, HM Khudlori tetap menerbitkannya.

Masalah lain, urai Patuan, adalah terkait kematian Nausin bin Nioen versi tujuh ahli waris dari Karawang. Disebutkan, Nausin meninggal dua kali, yaitu pada tahun 1941 dan tahun 1952. "Itu tidak mungkin," sangsi Patuan seraya menambahkan, Nausin bin Nioen yang di Cakung, ahli waris dari almarhum Nioen bin H Saelan, meninggal tahun 1962.

"Artinya asal-usul kepemilikan para penggugat atas tanah terperkara jelas riwayatnya. Apalagi, Nausin bin Nioen semasa hidup hingga meninggal dunia di Ujung Menteng, tidak pernah pindah ke daerah lain," Patuan menandaskan.

Menyusul dilaksanakannya proyek BKT, tiba-tiba banyak pihak yang mengklaim memiliki tanah tersebut dengan membawa bukti sertifikat tanah terbitan BPN Jaktim, dan ditengarai sebagai 'produk penggandaan'. Akibatnya, pembayaran pembebasan tanah proyek pemerintah tersebut tidak tepat sasaran.

Maka, selain menggugat HK Khudlori, advokat dari kantor pengacara R Patuan-Lindra & Partner, juga menggugat Panitia Pengadaan Tanah Proyek BKT; Ketua RT 07-M Sidik; Ketua RT 06-Suwarti; Lurah Ujung Menteng; Hakim Setiadi-warga Jl Pancoran RT 09/02, Glodok, Jakbar; serta Soehardi Soewandi-warga Jl Kayu Putih Selatan 1E RT 04/06, Pulogadung, Jaktim. ** mahadir romadhon

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, Indonesia, Indonesia
"Sekedar tahu, apa salahnya!!!"