JAKARTA – Mantan anggota Komisi VIII DPR RI periode 1999-2004, Noor Adenan Razak, menyatakan siap mengembalikan ‘uang haram’ Rp 1,5 miliar yang diterimanya dari Hieronimus Abdul Salam, eks Kepala Biro Umum Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), kepada negara.
Dalam isi pembelaan (pledooi) yang dibacakan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (30/4), Noor Adenan mengungkapkan, pengembalian uang itu akan ia lakukan dengan catatan jika uang tersebut memang terbukti ‘haram’. "Sebagai muslim, saya tidak makan dan memberi nafkah kepada istri dan anak dengan barang haram. Kalau uang itu haram, dengan perasaan menyesal saya siap mengembalikan kepada negara," ujarnya.
Menurut Noor Adenan, dirinya tidak pernah menjanjikan sesuatu kepada Hieronimus terkait Anggaran Biaya Tambahan (ABT) yang dibahas panitia anggaran (Panang) di Komisi VIII DPR untuk proyek pengadaan tanah di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, dan pembangunan Pusdiklat Bapeten pada 2003-2004. Namun demikian, dia mengaku pernah ditemui Hieronimus di Hotel Hilton.
"Pada 22 September 2004 sekitar pukul 22.00-23.00 WIB saat saya keluar dari toilet di Hotel Hilton tempat rapat panitia anggaran, saya dicegat orang dari Bapeten. Dia mengaku bernama Hieronimus Abdul Salam. Dia mengatakan, tolong Pak (ABT) digolkan," ujar Noor Adenan.
Pertemuan dengan Hieronimus, kata Noor Adenan, tidak bisa dikatakan dia menjanjikan sesuatu. Saat itu, lanjut dia, rapat Panang DPR sudah mengetuk palu mengenai RUU Perubahan APBN 2004, dan tidak pernah menyetujui ABT pembangunan gedung Pusdiklat Bapeten. “Kami menganggap gedung Bapeten sudah sangat besar dan dapat menampung seluruh kegiatan Bapeten," kilah dia.
Mengenai revisi ABT Bapeten sebesar Rp 35 miliar pada 15 Oktober 2004, katanya, tidak melibatkan anggota DPR, melainkan hanya dibahas antara Bapeten dan Dirjen Anggaran Departemen Keuangan. Sementara mengenai titipan uang sekitar Rp 1,5 miliar melalui istrinya pada 10 0ktober 2004, lanjut Noor Adenan, waktu itu dirinya sudah tidak menjabat sebagai anggota DPR.
"Saya sudah pensiun secara de facto pada 28 September 2004 dan de jure pada 1 Oktober 2004," kata dia. Itu sebab, dia menilai unsur pejabat negara seperti yang disebutkan Jaksa tidak tepat.
Sebelumnya, dalam sidang yang diketuai majelis hakim Moefri, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Sarjono Turin menuntut Noor Adenan dengan hukuman selama 3 tahun penjara, denda Rp 250 juta, subsidair 6 bulan kurungan. JPU mempersalahkan terdakwa Noor Adenan atas penerimaan uang gratifikasi (suap) sekitar Rp 1,5 miliar dari Hieronimus dan Sugiyo Prasojo setelah ABT sebesar Rp 35 miliar untuk proyek Bapeten bisa dicairkan.
Dalam kasus ini, Hieronimus sudah dijatuhi vonis selama 4,5 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 2,7 miliar. Sedang Sugiyo Prasojo yang menjabat Pimpinan Proyek, dihukum 3 tahun penjara, dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 50 juta. mahadir romadhon
Dalam isi pembelaan (pledooi) yang dibacakan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (30/4), Noor Adenan mengungkapkan, pengembalian uang itu akan ia lakukan dengan catatan jika uang tersebut memang terbukti ‘haram’. "Sebagai muslim, saya tidak makan dan memberi nafkah kepada istri dan anak dengan barang haram. Kalau uang itu haram, dengan perasaan menyesal saya siap mengembalikan kepada negara," ujarnya.
Menurut Noor Adenan, dirinya tidak pernah menjanjikan sesuatu kepada Hieronimus terkait Anggaran Biaya Tambahan (ABT) yang dibahas panitia anggaran (Panang) di Komisi VIII DPR untuk proyek pengadaan tanah di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, dan pembangunan Pusdiklat Bapeten pada 2003-2004. Namun demikian, dia mengaku pernah ditemui Hieronimus di Hotel Hilton.
"Pada 22 September 2004 sekitar pukul 22.00-23.00 WIB saat saya keluar dari toilet di Hotel Hilton tempat rapat panitia anggaran, saya dicegat orang dari Bapeten. Dia mengaku bernama Hieronimus Abdul Salam. Dia mengatakan, tolong Pak (ABT) digolkan," ujar Noor Adenan.
Pertemuan dengan Hieronimus, kata Noor Adenan, tidak bisa dikatakan dia menjanjikan sesuatu. Saat itu, lanjut dia, rapat Panang DPR sudah mengetuk palu mengenai RUU Perubahan APBN 2004, dan tidak pernah menyetujui ABT pembangunan gedung Pusdiklat Bapeten. “Kami menganggap gedung Bapeten sudah sangat besar dan dapat menampung seluruh kegiatan Bapeten," kilah dia.
Mengenai revisi ABT Bapeten sebesar Rp 35 miliar pada 15 Oktober 2004, katanya, tidak melibatkan anggota DPR, melainkan hanya dibahas antara Bapeten dan Dirjen Anggaran Departemen Keuangan. Sementara mengenai titipan uang sekitar Rp 1,5 miliar melalui istrinya pada 10 0ktober 2004, lanjut Noor Adenan, waktu itu dirinya sudah tidak menjabat sebagai anggota DPR.
"Saya sudah pensiun secara de facto pada 28 September 2004 dan de jure pada 1 Oktober 2004," kata dia. Itu sebab, dia menilai unsur pejabat negara seperti yang disebutkan Jaksa tidak tepat.
Sebelumnya, dalam sidang yang diketuai majelis hakim Moefri, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Sarjono Turin menuntut Noor Adenan dengan hukuman selama 3 tahun penjara, denda Rp 250 juta, subsidair 6 bulan kurungan. JPU mempersalahkan terdakwa Noor Adenan atas penerimaan uang gratifikasi (suap) sekitar Rp 1,5 miliar dari Hieronimus dan Sugiyo Prasojo setelah ABT sebesar Rp 35 miliar untuk proyek Bapeten bisa dicairkan.
Dalam kasus ini, Hieronimus sudah dijatuhi vonis selama 4,5 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 2,7 miliar. Sedang Sugiyo Prasojo yang menjabat Pimpinan Proyek, dihukum 3 tahun penjara, dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 50 juta. mahadir romadhon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar